PSII, Muhammadiyah Dan MASYUMI


 PSII, Muhammadiyah Dan Masyumi


Kelahiran ideologi Islamisme (Islam politik) di Indonesia berkelindan erat dengan penyebarluasan ide-ide reformis di nusantara. Tema-tema pembaruan, pemakaian metode-metode organisasi Barat yang menjadi ciri modernisme, menyajikan kepada kelompok-kelompok yang terbentuk di permulaan abad ke-20, pelbagai perangkat kritik dan struktur di tengah perjuangan yang sedang tumbuh. Akan tetapi, dorongan utama yang memicu kesadaran sebagian kaum muslim bisa disimpulkan pertama-tama sebagai kehendak untuk melindungi pelbagai kepentingan yang telah dicapai. 


Bermula dari beberapa kelompok sosial yang amat terbatas (anggota komunitas Arab Indonesia, pedagang batik), pergerakan reformis berangsur-angsur meluas hingga menjangkau seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Perjuangan yang semula komunalis lantas meningkat menjadi nasionalis (de Jonge 2022).


Keterlibatan awal pada pergerakan pertama-tama terpantik oleh kegalauan akan dominasi Barat, baik di bidang politik, ekonomi, maupun agama: sejak permulaan abad ke-20, para misionaris Kristen mulai menjangkau populasi abangan di Pulau Jawa, dan upaya ini terbilang berhasil sehingga sebagian orang menganggap mereka bertanggung jawab atas kemunduran Islam ataupun pengingkaran terhadap praktik-praktik ibadahnya (Ricklefs 2012).


***

 


Muhammadiyah merupakan salah satu pergerakan reformis Indonesia yang sangat penting. Pendirinya, Kiai Haji Ahmad Dahlan, adalah seorang ulama tulen, putra seorang abdi dalem pengurus masjid dari Kauman Yogyakarta, dan pernah tinggal selama lima tahun di Makkah (Garadian 2023). Tertarik pada ide-ide reformis, dia menerjuni semua pergerakan pranasionalis: Djamiat Chair, Boedi Oetomo, Sarekat Islam. Pergerakan Muhammadiyah yang didirikannya pada 1912, terutama bergerak di bidang sosial dan pendidikan (Saleh 2001).


Melalui jaringan masjid, sekolah, perkumpulan amal, organisasi perempuan, serta gerakan kepanduan, Muhammadiyah tidak bergerak langsung di kancah politik, tetapi banyak anggotanya berkiprah di tubuh Sarekat Islam (SI). Tahun 1920, aliansi kedua organisasi itu diresmikan. Muhammadiyah yang menjadi payung agama SI sekaligus memperkuat sayap anti-komunis di tubuh organisasi itu.


Haji Agus Salim, arsitek aliansi itu, adalah sosok modernis sejati. Sebagai bekas penerjemah di konsulat Hindia Belanda di Jeddah, dia ditugasi Pemerintah Hindia Belanda untuk memata-matai kegiatan SI. Menjadi anggota reformis itu sejak 1915, dia segera meninggalkan misinya sebagai mata-mata dan menjadi tangan kanan H.O.S. Tjokroaminoto (Noer 1973: 124). Agus Salim, yang dihormati karena pengetahuan keislamannya yang begitu luas, penentang segala upaya pemberontakan, berperan besar melahirkan keputusan pengakhiran hubungan dengan sayap Marxis di tubuh SI, tatkala kongres tahun 1921. Sejak itu, tidak ada pilihan liyan bagi sayap “merah” SI kecuali bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang baru didirikan (McVey 1965). 


Politik Islam yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda selama lebih dari empat puluh tahun (antara 1889 hingga 1933) tampak menyiratkan hasil-hasil analisis Christian Snouck Hurgronje. Snouck, yang menjadi Profesor di Universitas Leiden dan penasihat biro urusan pribumi kementerian wilayah jajahan, berhasil meredakan ketakutan orang Belanda terhadap kaum muslim Indonesia, dan memperkenalkan sebuah pendekatan politik anyar untuk menangani hal ihwal itu ( van den Doel 2023). 

 


Atas saran-saran Snouck, pemerintah kolonial membolehkan bahkan mendorong kegiatan kaum muslim sebatas berada dalam ranah keagamaan dan sosial. Sebaliknya, ekspresi Islamisme mendapat pengawasan ketat. Pembedaan subtil yang diterapkan pemerintah kolonial ini membuat jurang pemisah antara Muhammadiyah dan SI (Laffan 2003). Tahun 1923, SI yang baru berubah menjadi Partai Sarekat Islam, mengambil sikap politik yang disebut “Hijrah”, yang oleh Agus Salim disejajarkan dengan politik non-kooperatif dari Mahatma Gandhi dari India (Iqbal 2023).


Sejak itu, setiap anggota SI wajib menampik segala bentuk kerja sama dengan Belanda. Penerapan prinsip tersebut bisa menyengsarakan Muhammadiyah, karena perkumpulan ini banyak menerima subsidi dari pemerintah kolonial bagi keperluan sekolah-sekolahnya. Meskipun demikian, Tjokroaminoto tampak tak bergeming dalam perihal itu. Karena Muhammadiyah menolak tunduk pada sikap partai, ia lantas mengeluarkan kebijakan yang melarang keanggotaan ganda di kedua perkumpulan tersebut. Seiring dengan munculnya gelagat perpecahan di tubuh pergerakan reformis, kelahiran dua pesaing besar mempercepat keruntuhan hegemoni SI sebagai representasi politik Islam Indonesia: Nahdlatul Ulama dan Masyumi (Shiraishi 2023).


Kemunculan aliran baru di pentas politik Indonesia, bukanlah satu-satunya penyebab melemahnya pergerakan Islam reformis. Di era 1930-an, ketika perkumpulan-perkumpulan keluaran Partai Nasional Indonesia (PNI) tengah menempa generasi anyar pimpinan nasionalis di masa depan, Islamisme sedang tercabik-cabik akibat percekcokan menyangkut strategi pergerakan dan perselisihan pribadi yang memuncak pada perpecahan (Benda 1958: 55). Tahun 1933, karena pertikaian dengan Tjokroaminoto, salah satu pemimpin SI, Soekiman dipecat dari keanggotaan partai (Ingelson 1983). 


Cabang-cabang SI yang tidak setuju dengan keputusan itu mendirikan sebuah komite bernama Perhimpunan Islam Indonesia, lalu bergabung dengan PSII Merdeka dari Yogyakarta untuk selanjutnya mendirikan Partai Islam Indonesia (PARTII). Meski cukup mendapat sambutan di beberapa daerah di Jawa, partai ini kemudian surut dan menghilang di tahun-tahun berikutnya. 


Para pemimpinnya yang menjalin hubungan erat dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah (terutama ketuanya, KH. Mas Mansur), mengusulkan pada SI agar mengubah politik Hijrah, dan berhenti memandangnya sebagai sebuah prinsip mangkar yang sedikit pun tidak memberi kelonggaran untuk disesuaikan dengan keadaan. Mereka juga meingmbau SI agar lebih berkecimpung di kancah politik dan menyerahkan tugas di bidang sosial dan pendidikan pada organisasi-organisasi yang khusus didirikan untuk tujuan tersebut (Madinier 2015: 39).


Karena usulan dari Mas Mansur ditolak oleh SI, pada 1937 mereka mendirikan sebuah partai baru, Partai Islam Indonesia (akronim resmi pada saat itu adalah PII). Bersamaan dengan itu, di tubuh SI sendiri timbul percekcokan mengenai sikap yang harus diambil terhadap penjajah, yang kian meruncing setelah wafatnya Tjokroaminoto. Penolakan pimpinan baru terhadap segala bentuk kerja sama dengan pemerintah Belanda mendorong Agus Salim untuk mendirikan organisasi tandingan, yaitu Barisan Penyadar PSII (Korver 1985).


Pada akhir 1930-an, atas desakan kaum reformis, pergerakan politik Islam bertekad untuk tidak lagi menjadi satu dari sekian komponen aliran nasionalis. Terpaksa untuk menjalin kerukunan dengan kaum Islam tradisionalis agar bisa berjuang atas nama umat Islam Indonesia, maka pada 1937, kaum modernis-reformis menggandeng kaum tradisionalis untuk bergabung ke dalam Majelis Islam a’la Indonesia (MIAI). Bersama-sama kaum nasionalis, mereka turut serta ke dalam dua organisasi yang didirikan tahun 1939, yakni Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI, yang meliputi GAPI, MIAI, dan federasi pegawai pemerintah, PVPN (Elson 2008).


Namun, persatuan bersejarah dari berbagai pergerakan nasionalis Indonesia yang dengan susah payah berhasil menyatukan diri dengan aliran Islamis ini tidak mampu bertahan menghadapi perdebatan sengit mengenai sikap yang harus diambil menghadapi ancaman Jepang. Persatuan celomes ini akhirnya porak poranda di tahun 1942, tatkala kaum nasionalis Indonesia, tanpa berkonsultasi terlebih dulu dengan para wakil pergerakan Islam, mengeluarkan seruan atas nama MRI untuk memberi dukungan penuh pada Belanda dalam menghadapi Jepang (Benda 1958).


***


Dengan menghimpun seluruh perkumpulan Islam di Indonesia pada November 1945, Masyumi mewarisi kemajemukan sejarah pergerakan-pergerakan tersebut. Sebagai pengusung aspirasi persatuan umat, partai Masyumi kerap mengacu pada dua belas Kongres Islam (Al-Islam Kongres lalu Kongres Muslimin Indonesia) yang pernah terselenggara di nusantara selama kurun waktu dari tahun 1921 hingga 1941. Peringatan kongres-kongres tersebut secara teratur sepanjang tahun 1950-an selalu menjadi ajang pengumandangan gema persatuan oleh pewarta corong Masyumi.


Akan tetapi, kurun waktu itu di antara dua Perang Dunia itu mewarkan pula kecenderungan perpecahan akut di antara para wakil komunitas muslim. Meski kurang mengemuka, sisi liyan rekaman ingatan kaum muslim itu sudah tentu amat membekas. Memang, sejak akhir 1920-an, sudah terbentuk sebuah tradisi penguasa-penguasa kecil yang terbangun dari ambisi para pemimpin karismatik maupun dari pemilahan geografis, praktik peribadatan, dan sosial di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Masyumi-lah yang kemudian memikul semua akibat latanya, dan itu tampak pada perpecahan tahun 1947 (pembentukan kembali Partai Sarekat Islam Indonesia) dan tahun 1952 (pemisahan diri partai Nahdlatul Ulama) (Benda 1958).


Warisan dari tahun-tahun 1920-an dan 1930-an menyertakan pula kelanggengan jaringan-jaringan pergerakan Islam. Para tunas pemimpin Masyumi kebanyakan memulai karier mereka tahun 1920-an hingga 1930-an, di perkumpulan-perkumpulan baru. Mereka mengelompok mengikuti pergerakan asalnya dan hampir semua, nyaris tanpa kecuali, tetap setia mematuhi ajarannya. Evolusi komposisi personalia di jajaran kepemimpinan partai mencerminkan secara nyata perimbangan kekuatan antarkelompok tersebut.


Saat pendiriannya bulan November 1945, lembaga-lembaga kepemimpinan Masyumi merepresentasikan ikhtiar untuk menghimpun seluruh perkumpulan Islam serta payung politik masing-masing. Terdiri atas Dewan Pimpinan dan Majelis Syuro (Dewan Penasihat), jajaran pucuk pimpinan partai terutama diduduki oleh para bekas anggota PSII (Abikusno Tjokrosuyoso, Harsono Tjokroaminoto, Anwar Tjokroaminoto) serta sempalannya dari PII (Sukiman, Wali al-Fatah, Mr. A. Kasmat, Mohammad Natsir), dan Gerakan Penyadar (H. Agus Salim dan Mohammad Roem) yang seluruhnya berjumlah 9 orang. 


Jajaran lapis kedua berasal dari Muhammadiyah (Prawoto Mangkusasmito, Mawardi, Faried Ma’ruf, Yunus Anis, Faqih Usman, Dr. Syamsuddin, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, K.H.A. Wahab), dengan wakil lebih banyak (8 kursi) tinimbang Nahdlatul Ulama (K.H.A. Dahlan, K.H. Fatchurrahman, Hasyim Asy’ari, K.H.A. Wahid Hasyim) yang hanya mendapat 4 kursi.


Tiga perkumpulan kecil dari daerah berbagi tiga kursi yang tersisa: Perikatan Umat Islam Majalengka (perkumpulan tradisional kecil yang diwakili K.H. Abdul Halim), Persatuan Umat Islam Indonesia Sukabumi (K.H. Ahmad Sanusi) dan Majelis Islam Tinggi Sumatra (MIT, diwakili Syaikh M. Jamil Jambek) (lihat Madinier 2015).


Sepuluh tahun kemudian, tahun 1955, identitas politik Masyumi menciut amat terbatas. Sejak itu, Masyumi menjadi pewaris dari sebuah aliran yang lebih padu, bentukan para anggota militan Jong Islamieten Bond (JIB), Muhammadiyah, dan/atau sempalan-sempalan Sarekat Islam. 


Demikianlah, dari 57 wakil terpilih Masyumi di Parlemen, hanya seorang saja yang menyatakan diri bekas anggota SI, sementara 15 di antaranya berasal dari partai-partai sempalannya (Penyadar, Partai Islam Indonesia). Yang terakhir ini kebanyakan merupakan anggota Muhammadiyah. 12 orang wakil menegaskan pernah menjadi anggota JIB. Karenanya, bisa dikatakan bahwa perpecahan Masyumi dengan PSII tahun 1947, pada hakikatnya, mengikuti garis perpecahan yang sama dengan para pendahulu mereka tahun 1930-an.


Dengan kata lain, mereka yang di masa sebelum perang berikrar setia pada H.O.S. Tjokroaminoto dan saudaranya, Abikusno Tjokrosujoso, meneruskan ikrar kesetiaannya pada Harsono Tjokroaminoto, keponakan sang pendiri SI. Sebaliknya, para anggota yang memberontak dari SI (Gerakan Penyadar, PII) menolak ikut bertualang dan memilih tetap menjadi anggota Masyumi. Kesetiaan yang sama bisa dicermati pula pada kaum Islam tradisionalis; hanya dua wakil Masyumi yang menyatakan diri anggota Nahdlatul Ulama. Perkumpulan-perkumpulan liyan yang disebutkan dalam riwayat hidup para wakil terpilih membuktikan keberadaan tambahan lokal di tubuh partai (Partai Pesatuan Islam Cirebon, Persatuan Ulama Seluruh Aceh, Al-Jamiyatul Wasliyah Sumatra Utara…) (Madinier 2015: 40-1).


Bila teropong penelaahan kita arahkan ke jajaran eksekutif partai di awal tahun 1950-an, maka akan tampak kelompok inti tokoh-tokoh pemimpin yang dipertemukan oleh simpul-simpul yang berikait-kelindan selama tahun-tahun 1930-an. Kelompok JIB, khususnya cabang kota Bandung, berperan nyata sebagai penghimpun insan-insan pemuda kelahiran 1904 hingga 1910, yang memulai karier politik mereka dalam kelompok tersebut, diikuti pandangan mata simpatik dari para tokoh senior mereka di perkumpulan Sarekat Islam dan Muhammadiyah (Noer 1987).


***


Kalakian, pembentukan sistem multipartai di penghujung tahun 1945, ditambah peristiwa-peristiwa perpolitikan sesaat, turut memperkukuh alur-alur politik yang sebelumnya kerap bergeser. Setelah kemerdekaan, perpindahan dari gerakan nasionalis ke gerakan Islamis, dan sebaliknya sudah jarang terjadi. Persaingan menuju kekuasaan dan perspektif pemenangan pemilihan umum (pemilu) memperuncing pertentangan wacana gerakan yang berbasis sosiologisnya terbilang sama.


Walaupun lahir dari konteks pemutusan hubungan radikal –“Revolusi Fisik” rakyat Indonesia melawan Belanda –Partai Masyumi tetap menyandang torehan-torehan lawas dari masa penjajahan. Sebagai pewaris dari pergerakan pembaruan akbar yang melanda dunia Islam sejak akhir abad ke-19, tunas-tunas pemimpin Masyumi berusaha menggali dari khazanah kebudayaan Barat pelbagai solusi atas krisis identitas keislaman mereka. Dari antara mereka, segelintir tokoh meroket ke atas panggung politik nasional. Berlatar belakang sistem pendidikan yang diterapkan Belanda (Politik Etis) dan kebanyakan berasal dari Sumatra, mereka memicu pertikaian dengan generasi kamitua dari Sarekat Islam yang kental dengan budaya etnis Jawa (Kahin 2012).


Sebagai pengusung tradisi keterbukaan, mereka membangun budaya politik yang mengawinkan acuan-acuan modernisme Barat dengan nilai-nilai Islami. Dengan berhasil menduduki jajaran kepemimpinan Masyumi di awal era 1950-an, merekalah arsitek Islamisme dari lembaran-lembaran paling orisinal dalam sejarah partai Masyumi.

Comments