Di Gunung, Hidup Damai Menjaga Aqidah




Dari Abu Sa‘id Al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda :


يُوشِكُ أَنْ يَكُوْنَ خَيْرَ مَالِ المُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الجِبَالِ وَمَوَاقِعَ القَطْرِ، يَفِرُّ بِدِيْنِهِ مِنَ الفِتَنِ


Hampir-hampir harta paling baik yang dimiliki seorang muslim adalah kambing yang dia bawa ke puncak gunung dan tempat-tempat turunnya hujan. Dia membawa lari dirinya dari fitnah.


Al-Bukhari, ShahîhAl-Bukhâri, kitab Al-Fitan, hadits no. 7088


Ada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa di akhir zaman nanti banyak manusia yang sudah tidak peduli lagi dengan urusan sumber harta. Halal atau haram bukan lagi menjadi pertimbangan. Yang terpenting adalah bagaimana bisa memperoleh harta dengan cepat, mudah, sedikit tenaga, namun berlimpah.


Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda:


لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَاليِ اْلمَرْءُ بِمَا أَخَذَ اْلمَالَ أَمِنَ اْلحَلاَلِ أَمْ مِنْ حَرَامٍ


“Benar-benar akan datang kepada manusia suatu masa, pada saat itu orang tidak lagi mempedulikan dari mana ia mendapatkan harta kekayaan, apakah dari jalan yang halal ataukah jalan yang haram.”(HR. Bukhari no. 2059, bab qauluhu ta’ala Ali Imran :130 no. 2083, An-Nasa’i dan Ahmad.)


Nampaknya fenomena inilah yang sekarang banyak kita saksikan. Korupsi, menipu, merampok, mencuri, berjudi dan beragam jual beli batil yang diharamkan oleh syariat Islam telah menjadi hal yang lazim di tengah umat. 


Banyak orang yang mudah bersumpah palsu dan rela menjadi saksi palsu karena godaan uang. Lembaga-lembaga bantuan hukum terkadang bukan lagi bertujuan untuk memberikan pertolongan terhadap orang yang dizalimi, melainkan justru mengeruk keuntungan tanpa peduli tinjauan syar’i atas kasus hukum yang dibelanya. Dalam hal ini, merampas hak orang lain bukan lagi menjadi pertimbangan.


Dalam dunia perdagangan lebih mengerikan. Sistem kapitalis liberal yang menjadikan materialisme sebagai dasar dari semua sistem yang dibangun, telah mendorong manusia salah tujuan dan gelap hati. Hampir semua bentuk transaksi ekonomi yang dibangun oleh sistem kapitalis ini bertabrakan dengan syariat Islam, baik konsep maupun praktiknya di lapangan.


Jerat riba, praktik suap, mengurangi timbangan, tindak penipuan, pembajakan dan pemalsuan adalah hal yang banyak terjadi dalam praktik muamalah. Dengan demikian menjadi sangat sulit bagi seorang mukmin untuk bisa selamat 100% dari semua bentuk kemungkaran tersebut.


Karena kejahatan sistem kapitalis ini bersifat global, massif dan permanent, maka ada dari sebagian umat Islam yang memilih untuk menghindar dari sistem ini dengan cara yang tidak lazim; membawa sejumlah kambing ke wilayah gunung atau padang rerumputan yang melimpah sumber airnya. 


Ia tinggalkan dunia bisnis dan perdagangan, ia tinggalkan dunia perbankan dan transaksi online yang menjanjikan keuntungan, demi menyelamatkan agamanya dari fitnah dunia. Rasulullah saw menyebutnya dengan kalimat ”yafirru bidinihi, berlari dengan membawa agamanya”.


Dalam riwayat lain disebutkan, ”akan datang kepada manusia suatu zaman, yang kambing di zaman itu menjadi harta terbaik bagi seorang muslim, dia membawa kambing itu ke puncak gunung, di tempat tumbuhnya tanaman (lokasi-lokasi turunnya hujan). Dia melarikan diri dengan membawa dinnya dari fitnah.” 


(HR. Al-Bukhari, Shahîh Al-Bukhâri, kitab Al-Manâqib, hadits no. 3600 [Fath Al-Bârî (6/707)].)


Dr. Al-Mubayyadh menjelaskan hadits di atas bahwa, “Orang yang memperhatikan keadaan pada zaman kita ini akan menemukan bahwa kendali perekonomian negara-negara Islam dan semua infrastrukturnya terkait dengan bank-bank ribawi. Lebih dari itu hampir semua posisi penting dan akses finansial di sebagian besar negara-negara Islam itu sudah terjerat dengan filsafat dan hidden agenda untuk menghancurkan masyarakat Islam.”


Wallahu a’lam bishshwab, boleh jadi riwayat di atas adalah kiasan tentang perilaku bodoh – menurut pemikiran kebanyakan manusia modern – lantaran di tengah zaman yang terbiasa dengan segala kemungkaran itu masih ada sebagian orang yang berupaya hidup bersih dari unsur ribawi. 


Karena dunia bisnis dan perdagangan itu tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalis global, tidak bisa terbebas dari menggunakan mata wang kertas, dan mata wang kertas itu adalah produk dari sebuah sistem ribawi yang bernama Bank. Maka, ia benar-benar meninggalkan semua itu dengan cara membawa sejumlah kambing ke pergunungan. 


Ia uzlah dengan kambing-kambingnya. Ia bertahan hidup dengan memakan daging kambing dan meminum air susunya yang terbebas dari segala bentuk keterkaitan dengan sistem kapitalis. Sebab ia sendiri yang memelihara kambing itu di pegunungan atau di padang rerumputan yang melimpah sumber airnya. 


Ia sendiri yang menyembelih kambing tersebut. Ia sendiri yang memerah susunya. Ia juga bisa memastikan makanan dan minuman kambing itu halal. Ia merasa terbebas dari melakukan transaksi yang menurutnya masih bersentuhan dengan sistem ribawi, lantaran menggunakan jasa perbankan atau produknya dalam bentuk uang.


Atau, boleh jadi kondisi itu adalah sebuah gambaran kebahagian seorang mukmin dalam mencari rizkinya dalam bentuk memelihara kambing di tempat yang sangat jauh dari keramaian manusia. Ia damai dan bahagia lantaran tidak memikirkan kenaikan harga, krisis ekonomi atau pendapatan yang naik turun. Ia juga tidak tergoda dengan iming-iming kartu kredit atau cicilan rumah dan mobil yang ringan. Ia juga tidak mengalami ketertipuan atau perilaku curang sebagaimana yang lazim terjadi dalam dunia bisnis modern.


Ya, ia benar-benar berbahagia. Saat mengembalakan kambingnya di gunung-gunung ia punya banyak waktu dan kesempatan untuk mentadaburi ayat-ayat Allah SWT. Punya banyak waktu untuk ibadah shalat dan membaca Al-Qur’an. Punya banyak waktu untuk hidup bersama keluarganya, seraya terus berharap ampunan dari Allah melalui kambing-kambing yang dipeliharanya, lantaran kambing-kambing itu memang selalu memohonkan ampunan Allah untuk tuannya. Wallahu a’lam bish shawab

Di gunung hidup damai meski tak menutup kemungkinan gunung itu berubah jadi pulau kala sekeliling terkena Tsunami dan menjadi lautan

Comments