Anies Dan PKS, Tulisan Ini Membantu Mengevaluasi Keduanya


 


@rafif_amir 


Ketika Jokowi nyapres pertama kali tahun 2014, Anies ditunjuk sebagai jubir. 


Langsung atas permintaan Jokowi. 


"Ketika beliau maju menjadi calon presiden, beliau menelepon, beliau bicara, mengundang saya untuk menjadi juru bicaranya, dan sesudah itu menjadi intensif pembicaraan," ungkap Anies, dikutip Detik (6/10/2022).


Anies menyambut tawaran itu dengan baik. Lantaran Jokowi adalah sahabat baiknya.


"Kami ini bersahabat dan kami itu mulai berinteraksi bersama itu sejak tahun 2011 sebelum beliau menjadi gubernur di Jakarta," terang Anies. 


Berkat andil Anies, Jokowi naik ke tampuk kekuasaan. Anies diangkat sebagai Menteri Pendidikan. Meski 2 tahun kemudian terdepak dari kabinet. 


Pengamat menilai, pencopotan Anies disebabkan ia mencari panggung popularitas.


Sementara bagaimana sikap dan posisi PKS saat itu?


Presiden PKS saat itu, M Shohibul Iman menegaskan bahwa PKS sebagai oposisi yang loyal pada rakyat. PKS akan mengkritisi semua kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. 


Peristiwa-peristiwa politik kemudian terjadi, besar dan kecil, beruntun dan bertubi-tubi.


PKS membuktikan sikapnya. Pada Aksi Bela Islam berjilid-jilid yang dipicu penistaan agama oleh Ahok, PKS berada di garda depan. Tidak hanya mengeluarkan penyataan sikap resmi, PKS juga menerjunkan kader-kadernya di seluruh nusantara untuk datang ke Jakarta. 


Momentum yang menjadi sejarah besar republik itu, jika PKS mau, bisa dijadikan momentum untuk menghajar pemerintah. Tapi PKS tidak melakukan itu, bahkan melarang kadernya memakai atribut partai. 


PKS ingin umat fokus pada isu penistaan agama dan tidak memanfaatkannya untuk kepentingan politik praktis. Sikap PKS ini menunjukkan kedewasaannya dalam berpolitik. Persatuan umat dikedepankan dan menjauhi anasir-anasir sektarian yang dapat menimbulkan perpecahan.


Saat itu, pemilih PKS di Jakarta sudah 424.400 suara dengan meraup 11 kursi DPRD Provinsi. 


Bersama Gerindra, PKS mengusung Anies maju di Jakarta. Lalu keluar sebagai pemenang. 


Pemilu 2019, Jokowi kembali mencalonkan diri. Dan menang lagi. Sikap PKS masih sama. Sebagai oposisi. Kritis dan berani. Meski saat itu, pemerintah semakin represif terhadap pihak-pihak yang berseberangan. 


Sementara itu, Gerindra memilih merapat pada koalisi. Prabowo didapuk sebagai Menhan. Demokrat masih jalan dua kaki. Tinggal PKS sebagai oposisi murni.


PKS berjuang sendiri di parlemen. Menolak semua kebijakan yang tidak pro rakyat. Mulai omnibus law, kenaikan tarif PPN, kenaikan BBM,  kasus Rempang, RUU HIP, legalitas miras, kebijakan impor beras, dan segudang kebijakan lainnya. 


PKS bahkan turut andil, mengawal, dan bersuara keras untuk mengungkap pembunuhan misterius terhadap 6 orang laskar FPI. Sebuah peristiwa besar yang menjadi bukti pincangnya hukum di negeri ini. 


Bagaimana sikap Anies saat itu sebagai penguasa Jakarta? Sementara kasus hukumnya berada di wilayah Jakarta. Anies bergeming. Tak ada pernyataan sikap keluar. Main aman. Padahal FPI termasuk pendukung Anies di Pilkada Jakarta. 


Cerita belum selesai. Tugas Anies di Jakarta kelar. Tiba-tiba Nasdem mengusungnya jadi capres. Padahal semua orang tahu, saat itu Nasdem masih bagian dari koalisi pemeritahan. 


Anies menerima. Logika Anda bagaimana? Jika memang Anies idealis 100% harusnya ia menolak. Lalu pergi ke PKS dan meminta dukungan. Tapi tidak. PKS baru diajak belakangan setelah Nasdem deklarasi.


Bahkan, hampir saja PKS ditinggal. Saat pasangan Anies-AHY yang digadang-gadang bubar jalan dan Demokrat hengkang. Anies-Muhaimin berlayar, dan PKS lapang dada meski tak pernah diminta persetujuan. 


Semua untuk umat. Untuk perubahan. 


PKS mengerahkan mesin politiknya, kader-kader militan kampanye siang-malam untuk memenangkan AMIN. 


Namun hasilnya memang seperti yang kita saksikan. AMIN gagal. Campur tangan kekuasan begitu besar. 


PKB dan Nasdem mendulang suara cukup besar. Sementara PKS naik meski tak signifikan. 


10 tahun PKS oposisi dengan segala perjuangannya, bahkan hingga kadernya dijebloskan ke penjara, tapi seakan tak ada apresiasi dari rakyat yang setiap hari koar-koar perubahan. Mereka lebih memilih PKB dan Nasdem sebagai oposan dadakan. 


Dan Anies tak peduli itu semua. Anies tak memiliki idealisme itu. Terpenting, ia bisa menang, bisa berkuasa.


Ketakpedulian itu konsisten Anies pertunjukkan. Sejak pasangan Anies-Mardani yang gagal, lalu kursi wagub Jakarta yang seharusnya milik PKS tapi tak ia perjuangkan, hingga pencalonan Anies-Sohibul Iman yang ia acuhkan.


Ia telah mendapat dukungan besar. Ia telah berhasil merebut simpatisan PKS untuk kelak diangkut ramai-ramai dalam partai barunya. 


Ketika para petinggi PKS menenangkan kadernya untuk tidak menyerang Anies, Anies membiarkan para pendukungnya dengan terbuka untuk menguliti PKS. 


Setelah 10 tahun, dan sampai saat ini konsisten memperjuangkan aspirasi umat Islam--terbaru kasus pelarangan jilbab dan running text adzan--PKS dibully habis-habisan. Hanya karena tak mengusung Anies di Jakarta.


Hanya karena Anies. Dan hanya karena Jakarta.


PKS juga dituding balik badan mendukung rezim. Karena bergabung dengan KIM. Kalau PKB dan Nasdem tidak? Ohya, mereka hanya kembali "pulang".


Mereka terlalu banyak lupa dan terhipnotis oleh retorika Anies. Bukalah lembar-lembar sejarah politik ke belakang. Bukalah lebar-lebar. Jangan jadi sumbu pendek yang mengedepankan emosi daripada nalar. 


PKS sebagaimana Anies dan partai politik lain punya strategi. Keputusan PKS tidak ditentukan oleh satu orang. Tapi 99 majelis syuro dengan lintas bidang keahlian, hingga bisa menimbang dengan perspektif beragam. Mereka juga paham syariat, paham sejarah, paham strategi, paham problematika umat, paham wawasan kebangsaan. Semua ulama yang hadir untuk tabayyun ternyata juga bisa memahami keputusan itu. Tapi mereka yang hanya mengandalkan perasaan, fanatisme buta, dan figuritas tak akan bisa. Mereka hanya bisa paham: Anies dijegal dan karena itu harus dilawan. 


Baper kronis!


Pada akhirnya, waktu yang akan menjawab. Kita akan melihat siapa yang konsisten membela rakyat. Jika ternyata 20 Oktober nanti konstelasi politik berubah. Sebagaimana diprediksi banyak pengamat, bahwa Prabowo akan lepas dari pengaruh Jokowi. KIM balik serang Jokowi. Di manakah posisi Anies, dan di manakah posisi para pendukung Anies?


Kembalilah melihat politik dengan lebih dewasa, bukan seperti penonton serial drama. 


Sidoarjo, 15 September 2024

Penulis "Masyumi, PKI, dan Politik Zaman Revolusi"

Comments