Setelah berpekan-pekan terjadi krisis minyak goreng, saat ini jumlah minyak goreng di pasaran melimpah ruah namun dengan harga yang melambung tinggi. Kenaikan harga yang terjadi karena kelangkaan minyak sawit tentu menjadi pertanyaan besar. Pasalnya, sejak tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat pertama dan menjadi raja produsen sawit terbesar di dunia. Tahun 2019, produksi sawit di Indonesia pernah menembus 43,5 juta ton. Pertumbuhan rata-rata pertahunnya mencapai 3,61 persen. Merujuk catatan Kementerian Perindustrian, realisasi produksi minyak goreng sawit (MGS) tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya sebesar 5,07 juta ton. Lalu mengapa krisis ini terjadi?
Ada dua penyebab utama. Pertama, kuat dugaan telah terjadi kartel, alias penguasaan produksi dan pasar oleh sekelompok produsen. Mereka bekerja sama satu sama lain untuk mengeruk keuntungan dan menguasai pasar. Hal ini dimungkinkan terjadi. Pasalnya, mulai dari perkebunan sawit hingga produksi minyak goreng sawit dikuasai oleh segelintir orang. Ketua KPPU Ukay Karyadi mengatakan struktur bisnis minyak goreng dalam negeri cenderung dikuasai oleh segelintir korporasi besar yang memiliki kekuatan untuk mengontrol harga. KPPU mengungkapkan bahwa 46,5% pangsa pasar minyak goreng di dalam negeri dikuasai oleh empat produsen besar. KPPU menemukan pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO hingga produsen minyak goreng. Hal ini menguatkan dugaan adanya praktik kartel seiring meningginya harga minyak goreng sejak akhir tahun lalu. Merekalah yang mengeruk keuntungan besar di tengah derita rakyat akibat krisis minyak goreng.
Kedua, salah kelola oleh negara. Kelangkaan minyak goreng juga disebabkan pemerintah mengizinkan para pengusaha tetap mengekspor minyak goreng keluar negeri di tengah kelangkaan barang. Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, mengungkapkan telah terjadi kebocoran minyak goreng murah yang dijual ke luar negeri. Ia menyebutkan, telah terjadi ekspor 415 juta liter sejak 14 Februari 2022 lalu. Kelangkaan minyak goreng sawit ini juga akibat kebijakan pemerintah bersama pengusaha menjadikan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) untuk keperluan biodiesel. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat konsumsi minyak sawit mentah di dalam negeri justru jauh lebih banyak digunakan untuk biodiesel dengan volume setara 732.000 ton. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan kebutuhan konsumsi minyak goreng.
Proyek pengembangan biodiesel milik pemerintah dikelola oleh Pertamina untuk mendapatkan bahan bakar alternatif. Lalu, mengapa pengusaha minyak sawit menjual ke pemerintah untuk keperluan biodisel? Sebabnya, Pemerintah membeli dari para pengusaha dengan harga internasional. Jauh lebih mahal dibandingkan harga minyak goreng yang dijual ke dalam negeri untuk keperluan warga.
Sebelum kenaikan harga minyak sawit, telah terjadi kenaikan harga gandum di pasaran. Dalam waktu sebulan, harga gandum naik 24%. Stok gandum Indonesia bergantung pada situasi kedua negara, Rusia-Ukraina, yang mana keduanya merupakan negara pemasok gandum terbesar di Indonesia. Krisis yang melanda Rusia-Ukraina menyebabkan harga gandum naik ke rekor tertinggi dalam 9 tahun.
Senasib dengan gandum, harga kedelai impor yang terus merangkak naik menjadi sebab harga tahu dan tempe mengalami kenaikan. Alasan naiknya harga kedelai impor juga dipicu oleh kondisi negara pemasok mengalami gagal panen karena cuaca memburuk. Fakta ini membuktikan bahwa kondisi pangan Indonesia benar-benar bergantung pada situasi di negara pengekspor Indonesia menjadi importir kedelai terbesar kedua di dunia setelah Cina, sedangkan eksportir kedelai terbesar dunia saat ini ditempati Brazil dan AS. Adapun kebutuhan kedelai nasional Indonesia yang nyaris tiga juta ton per tahun ini (berdasarkan BPS 2021) sebagian besarnya diimpor dari AS (86% dari total impor kedelai). Sisanya dari Kanada, Argentina, Brazil, dan Malaysia.
Sebenarnya, Indonesia pernah swasembada kedelai pada 1992 sehingga anggapan bahwa kedelai adalah tanaman subtropis dan tidak cocok ditanam di Indonesia adalah keliru. Hal demikian pun telah dibuktikan oleh berbagai riset penelitian. Oleh karenanya, penurunan produksi bukan diakibatkan oleh iklim Indonesia yang tropis, melainkan kebijakan pemerintah yang tidak memihak petani.
Produksi menurun akibat luas lahan yang terus berkurang, misalnya. Hal ini merupakan imbas dari kebijakan alih fungsi lahan pertanian menjadi infrastruktur. Selain itu, harga pupuk dan benih juga mahal. Hal ini akibat pencabutan subsidi secara bertahap pada pupuk dan benih. Begitu pun harga kedelai impor yang sering kali lebih murah dari harga lokal, tersebab pemberlakuan tarif impor hingga 0%. Semua ini menyebabkan petani tidak bergairah untuk menanam kedelai karena insentifnya sangat kecil. Jadilah para petani berhenti menanam kedelai. Padahal, kebutuhan kedelai makin tinggi seiring dengan pertumbuhan penduduk
Demikianlah sejatinya kehidupan dalam sistem kapitalisme, kebijakan-kebijakannya selalu menguntungkan para pengusaha dan penguasa.
Ketahanan Pangan Dalam Islam
Berbeda dengan sistem kapitalisme, dalam Islam negara berkewajiban memenuhi semua kebutuhan pokok bagi rakyatnya, termasuk pangan. Karena demikian pentingnya maka negara Islam akan menjamin persediaan pangan ini, dalam kondisi apapun tidak mengandalkan impor. Selain itu, Negara Khilafah akan memprioritaskan kebutuhan negeri untuk rakyat ketimbang untuk keperluan ekspor. Khilafah juga akan menghapus berbagai kebijakan yang menimbulkan mudarat bagi rakyat. Sebabnya, menimpakan mudarat kepada siapa pun, apalagi terhadap rakyat, adalah kemungkaran. Nabi saw. bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh ada bahaya dan yang membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah dan ad-Daraquthni)
Islam memandang bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Dengan demikian pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila permasalahan pertanian tidak dapat dipecahkan, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan akan membuat suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain.
Oleh karenanya perhatian negara pun akan dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan pertanian ini, agar kebutuhan pangan untuk rakyat terpenuhi. Langkah optimalisasi pengelolaan ini dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syara, yakni:
Kebijakan pertanian: intensifikasi dan ekstensifikasi
Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya. Adapun ekstensifikasi pertanian dapat dicapai dengan mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah yang mati. Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang, dan tidak tampak ada bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, maupun yang lainnya. Menghidupkan tanah mati artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah yang mati, jika telah dihidupkan oleh seseorang, adalah menjadi milik yang bersangkutan. Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab telah bersabda: “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. [HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud].
Setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara optimal. Bagi siapa saja yang membutuhkan biaya untuk perawatan tanah tersebut, akan diberi modal dari Baitul Maal (kas Negara), sehingga yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya secara optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama 3 tahun, maka tanah tersebut akan diambil alih dan diberikan kepada yang lain.
Kebijakan terkait ketersediaan pangan
Sebagai proteksi terhadap ketersediaan pangan ini negara melarang adanya praktek penimbunan barang (termasuk menimbun bahan kebutuhan pokok), karena hal ini akan menyebabkan kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat. Ketikapun hal itu terjadi, Khalifah harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang pertanian ini, baik lewat industri-industri pertanian swasta maupun asing melalui perjanjian multilateral, seperti WTO, FAO, dan lain-lain, karena ini akan sangat membahayakan kedaulatan pangan negara Khilafah sendiri.
Islam menata perdagangan serta ketersediaan kebutuhan pokok dan distribusinya ke tengah masyarakat. Tidak ada tempat dalam Islam bagi praktik kecurangan dalam perdagangan semisal mencurangi timbangan, menipu konsumen, dan mempermainkan harga. Semuanya haram. Nabi saw. memberikan pujian kepada para pedagang yang jujur dan tepercaya. Beliau bersabda,
التَّاجِرُ الأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَ الصِّدِيْقِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (tepercaya) akan (dikumpulkan) bersama para nabi, para shiddiqqîn dan para syuhada pada hari kiamat (nanti).” (HR Ibnu Majah)
Di antara praktik perdagangan yang terlarang menurut Islam adalah menimbun komoditi perdagangan agar harga meroket sehingga menguntungkan produsen dan para pedagang. Nabi saw. bersabda,
مَنِ احْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامَهُمْ، ضَرَبَهُ اللهُ بِاْلإِفْلاسِ، أَوْ بِجُذَامٍ
“Siapa yang melakukan menimbun makanan terhadap kaum muslim, Allah akan menimpakan kepada dirinya kebangkrutan atau kusta.” (HR Ahmad)
Praktik monopoli pasar termasuk kartel adalah cara perdagangan yang diharamkan Islam. Praktik perdagangan seperti ini hanya menguntungkan para pengusaha karena mereka bebas mempermainkan harga. Sebaliknya, rakyat tidak punya pilihan selain membeli dari mereka. Inilah kezaliman nyata. Nabi saw. memperingatkan para pelaku kartel dan monopoli pasar ini dengan ancaman yang keras,
مَنْ دَخَلَ فِي شَيْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَقْذِفَهُ فِي مُعْظَمٍ مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa saja yang memengaruhi harga bahan makanan kaum muslim sehingga menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk menempatkan dirinya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam Islam, negara tidak boleh kalah oleh para pemilik kartel ini. Negara harus memberangus praktik kartel dan monopoli perdagangan. Sebabnya, salah satu kewajiban negara menurut Islam adalah melindungi hajat hidup masyarakat serta menjaga keamanan dan ketertiban, termasuk dalam perdagangan.
Khalifah Umar ra. memberlakukan larangan praktik monopoli di pasar-pasar milik kaum muslim. Khalifah Umar ra. pernah bertanya kepada Hathib bin Abi Balta’ah, “Bagaimana cara engkau menjual barang, Hathib?” Ia menjawab, “Dengan utang.” Khalifah Umar lalu berkata, “Kalian berjualan di pintu halaman dan pasar milik kami, tetapi kalian mencekik leher kami. Kemudian kalian menjual barang dengan harga sesuka hati kalian. Juallah satu shâ’. Bila tidak, janganlah engkau berjualan di pasar-pasar milik kami atau pergilah kalian ke daerah lain dan imporlah barang dagangan dari sana. Lalu juallah dengan harga sekehendak kalian!” (Rawwas Qal‘ahji, Mawsû’ah Fiqh Umar bin al-Khaththâb, hlm. 28).
Khalifah Umar tidak hanya membatasi praktik monopoli terhadap barang-barang kebutuhan pokok dan hewan, tetapi bersifat umum terhadap setiap barang yang mendatangkan mudarat (kerugian) bagi orang-orang jika barang itu tidak ada di pasaran. Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’, bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah mengatakan, “Tidak boleh ada praktik monopoli di pasar-pasar milik kami.” (Rawwas Qal’ahji, Mawsû’ah Fiqh Umar bin al-Khaththâb, hlm. 29).
Bukan hanya melarang praktik perdagangan monopoli dan kartel, Negara Khilafah juga menghukum para pelakunya. Khilafah juga berhak melarang mereka berdagang sampai jangka waktu tertentu sebagai sanksi untuk mereka. Tindakan ini terutama akan ditujukan kepada para pengusaha dan pedagang besar. Sebabnya, merekalah yang paling mungkin melakukan tindakan zalim tersebut.
Ironinya, dalam sistem kapitalisme, para konglomerat yang mendominasi pasar sering tak tersentuh hukum. Hanya para pedagang kecil atau warga yang sering mengalami razia dan dikenai hukuman. Negara sering kalah dan tunduk pada kepentingan kartel. Pendapat lebih moderat disampaikan oleh Mantan Wakil Sekjen PB HMI Abdullah Amas bahwa bukan 2022 tapi 2023 meski tentu kita melihat potensi bahwa bahaya kelaparan dashyat ataupun krisis pangan mulai terasa ujung 2022. Berikut isi artikel beritanya :
Efek PD 3 : Kelaparan Dashyat Tahun 2023, Siapa Selamat?
Pengamat dari The Future Institute (TFI) New Abdullah Amas menyebut dengan ketergantungan impor pangan Indonesia disegala hal mulai beras, daging, cabe, gula, garam dan lainnya maka dengan adanya krisis perang dunia ketiga setidaknya 2023 akhir Indonesia sudah ikut memasuki krisis kelaparan yang dashyat.
Langkah antisipasi juga menyusul efek bom nuklir yang membuat menggilanya krisis air bersih dan energi. Jalan sebisa mungkin menghindarinya adalah membuat lumbung pangan di gunung-gunung dan persediaan bahan pangan selama setahun minimalnya atau sampai lima tahun.
"saat memasuki tahun-tahun krisis setahun sampai lima tahun lagi kurangi dulu tenaga untuk politik praktis sebab kita setelahnya memasuki krisis politik dalam negeri yang dashyat berupa situasi kacau yang membuat hukum dan keamanan dalam negeri runtuh juga kedepan ancaman Tsunami gila-gilaan sesuai prediksi BMKG"ujar Amas
Tahun 2022 sampai 2023 akhir adalah saat-saat kita masih bisa tersenyum
"setelah itu saya ibaratkan situasi seperti lampu diruangan dimatikan dan semua orang gaduh, seluruh isi hati dan kepanikan keluar, situasi ketidakpastian akan membuat kita tak lagi bisa berbuat banyak kecuali bertahan yang penting bisa makan dan dapat keamanan ditempat terpencil" tegas Amas
Comments
Post a Comment