Sebelum 2024, Pemerintah Harus Pastikan Indonesia Bebas Islamphobia


 SEBELUM 2024 PEMERINTAH HARUS PASTIKAN INDONESIA BEBAS ISLAMOPHOBIA.


Inilah kesimpulan dari zoominar Akurat Indonesia,(25/4) dengan tema Islamophobia  di Indonesia Kapan Berakhir?" 


Nara sumber mulai dari akademisi,politisi,praktisi dan perwakilan organisasi kemasyarakatan, yang berkorelasi dan terimbas dengan isu-isu Islamophobia, satu suara mengadresi soal Islamophobia di Indonesia kepada Pemerintah Indonesia. "Tidak bisa lagi pemerintah tinggal diam dari semua  sebab munculnya Islamophobia yang dari waktu ke waktu terus membesar tanpa merasa bersalah", tegas Ida Nurhaida  Kusdianti,Presideum Aliansi Rakyat Menggugat (ARM).

Pernyataan senada diungkapkan juga oleh Risda Mardarina, Ketua Bidang Perempuan Partai Masyumi,Syifa Awalia,Ketua STAI PTDI Jakarta dan Hamidah Yacoub,Ketua Muslimat Partai Bulan Bintang.


Mengalamatkan penuntasan masalah Islamophobia kepada Pemerintah, menurut Suhardi Somomoeljono,Pembina Tahanan Terorisme memang tidak berlebihan dan ada dasarnya. "Selama ini cara penyelesaian tindak pidana terorisme dengan cara "tuntas" memang menghasilkan signifikansi implikasi traumatis,amarah dan dendam yang bisa saja bukan hanya kepada keluarga korban pelaku terorisme dan radikalisme, tapi juga  ke masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini Pemerintah memang harus lebih mengedepankan cara-cara dialog  baik pada hulu maupun muaranya. Islamophobia dapat terjadi karena praktek berbangsa dan bernegara kurang memperhatikan asas keadilan, kamanfaatan dan kepastian hukum. Demikian pula  pada upaya rehabilitasi pelaku tindak pidana terorisme. Selaku pembina nara pidana tindak pidana terorisme "Napiter" sebaiknya  Napiter setelah dibina kemudian insyaf dan bersedia kembali ke Pancasila, sebaiknya ada penghargaan dari pemerintah. Misalkan dari hukuman seumur hidup menjadi hukuman badan  20 tahun penjara. 

Jika tidak ada perhatian dari negara malah membingungkan, sebab gunanya ada pembinaan terhadap Napiter itu apa? ",ungkap Suhardi Direktur Pascasarjana Universitas Mathla'ul Anwar Banten.


Sementara itu Zora A Sukabdi, Dosen UI pada Prodi Kajian Terorisme, dari banyak penelitian yang dilakukannya. Zora mengakui, "Bahwa Islam telah dibajak oleh kalangan ekstrimis sehingga banyak orang tidak memahami makna Islam yang sesungguhnya yakni yang damai dan Rahmatan Lil Alamin. Di berbagai literatur dan riset  ditemukan bahwa Islamophobia dapat terjadi di empat teater: di negara mayoritas Muslim, di negara dimana Muslim minoritas, di tempat dimana Muslim menjadi imigran yang ditakuti akan merusak tatanan kehidupan negara asal, dan di tempat dimana Muslim tidak dikenal sama sekali."


Zora dengan latar belakang profesi psikolog banyak mendapati data di lapangan.

"Islamophobia dalam riset-riset dipresentasikan dalam bentuk prasangka, tuduhan, ketakutan, penolakan, hingga diskriminasi, yakni terhadap target-target tertentu seperti Muslim dengan penampilan tertentu, tradisi tertentu, dan simbol-simbol tertentu. Target Islamophobia biasanya adalah sesuatu yang terlihat berbeda dengan populasi kebanyakan, yakni dalam cara berpakaian, tradisi, dan simbol-simbol tertentu. Penyebab Islamophobia bisa bermacam-macam, dari pola asuh, prasangka-prasangka yang ditularkan dari orang tua, minimnya informasi tentang Islam, stereotipe, dan lain sebagainya. Sejarahnya panjang, dari abad ke 12an kurang lebih, surut, kemudian bangkit lagi, surut lagi, begitu seterusnya dan bangkit lagi ketika tragedi WTC 9/11. Bahkan di literatur ada disebut bahwa tokoh-tokoh yang menginisiasikan prasangka/hate speech terhadap Islam/Muslim biasanya punya kecenderungan menjadi lebih terkenal atau setidaknya mendapat perhatian dari masyarakat atau "industri Islamophobia" (Dauda, 2020). Islamophobia juga bertujuan untuk kepentingan penataan geopolitik dengan maksud-maksud ekonomi dan politik. Lebih jauh, dalam riset-riset disebutkan bahwa tipe Islamophobia di dunia ada yang dari eksternal (non Muslim ke Muslim) dan internal (Muslim ke Muslim sendiri, dikenal dengan istilah "Islamophobia from within" atau "internalized Islamophobia"). Yang terakhir ini dimungkinkan karena adanya tekanan dari pihak-pihak eksternal terhadap dunia Islam itu sendiri, sehingga sesama Muslim harus "mendisiplinkan sesamanya agar tidak memalukan atau menyusahkan pihak eksternal", ini ada dalam literatur dan berbagai riset mengenai Islamophobia, jadi bukan pendapat saya ya.. Di Indonesia sendiri, hasil riset kami menunjukkan bahwa dari kurang lebih 500an responden, 93% tidak menunjukkan Islamophobia, namun 7% menunjukkan adanya Islamophobia yakni mereka berprasangka, takut, membenci, hingga menjauhi Muslim yang berpenampilan tertentu, tradisi Islam tertentu, dan simbol-simbol Islam tertentu", urainya.


Syifa Awalia yang berkecimpung di dunia pendidikan Islam dapat merasakan cara -cara Pemerintah dalam membuat kebijakan berpotensi menimbulkan kecurigaan di kalangan umat menjadi salah paham. "Apa yang disebut-Peta Pendidikan Indonesia- dengan menghilangkan kata Iman dan takwa, belum lama ini adalah contoh bahwa ada tangan-tangan atau kekuatan Islamophobia di dalam Pemerintahan Indonesia".


Disahuti dengan pernyataan politisi Partai Masyumi,Risda Mardarina "Bahwa kebijakan Pemerintah diskriminatif dalam penegakkan hukum. Saat ulama dan ormas-ormas kencang menyuarakan ancaman negara dari bahaya laten komunis dan praktik-praktik yang tidak Pancasilais, selalu saja dicarikan kesalahan dan cepat diproses hingga terkena delik. Sementara sebaliknya, mereka yg mempromosikan ajaran-ajaran yang tidak senapas dengan Pancasila dan Islam, seperti:Konunisme gaya baru,LGBT,perkawinan beda agama dan tindakan pidana penodaan agama yang selalu berulang, terasa lambat ditangani".  


Begitu juga Hamidah Yacoub yang berasal dari  Partai yang selama ini getol berupaya mentranformasikan syariat Islam ke dalam hukum positip nasional, langsung tidak langsung merasakan imbas negatif dari isu-isu Islamophobia yang selalu ramai menjelang pemilu. "Kami meyakini soal Islamophobia itu ada aktor di belakangnya dan  segaja diproduksi untuk melemahkan Islam seperti kami partai yang mengusung nilai Islam dalam berpolitik. Hal ini sudah diperingati dalam surat Al Baqoroh ayat 120 - Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka

", tutup politisi yang juga aktif di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.


Di penghujung diskusi, semua peserta mengamini bahwa penuntasan soal Islamophobia di tanah air ini, hanya Pemerintah yang bisa menjawabnya. Bila dunia kini ramai-ramai untuk menghentikan Islamophobia sebagai isu dan gerakkan. Pertanyaan kini, lalu kapan Indonesia-terbebas dari Islamophobia. (Malik Tudisi)

Comments

Post a Comment