Tantangan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia

 

TANTANGAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA


Oleh :KH. Anwar Munawar, Pengasuh Pesantren Terbuka Al Irfani.


 *Pendahuluan* 

Perkara perkawinan beda agama di Indonesia bukan saja tantangan bagi pemerintah yang diuji ketegasannya, tapi juga  untuk setiap calon pasangan suami istri. Tantangan terberat kasus-kasus yang terjadi di Indonesia dalam soal perkawinan banyak sekali. Ini beberapa catatan sampel yang bisa dijadikan cermin melihat permasalahan yang ada di Indonesia. Contoh angka perceraian di Kabupaten Tangerang saja, setiap tahunnya tidak kurang 6000 kasus. Bagaimana di tingkat nasiinal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 perceraian mencapai 450 ribu lebih  pasangan.ada kenaikan 50 % dari tahun 2020. Dari sejumlah itu yang melakukan gugatan cerai mayoritas  oleh pihak perempuan.apa artinya ini? Ini menunjukkan dalam perkawinan posisi  perempuan sangat rentan menjadi obyek kekerasan rumah tangga. Angka ini tercatat dari perkawinan satu agama, bagaima dengan mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya atau yang beda agama? Karena bercerai dampaknya mendatangkan problem susulan yang kompleks. Misalnya dalam pengasuhan anak mulai dari pendidikan menjadi kurang perhatian. Tanggung jawab nafkah menjadi berkurang. Rebutan harta gono gini dan soal pembagian warisan saat anak itu dewasa. semuanya menjadi problem.  Dalam kasus perkawinan beda agama, Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP) merilis datanya sejak 2005 terdapat 1.425 pasangan. Tentu saja ini data yang terekam di Dukcapil, belum lagi mereka yang numpang kawin di negara lain yang membolehkan perkawinan beda agama seperti Australia dan Singapura. Banyak lagi yang menikah diam-diam tanpa ada catatan ( kawin sirri). Semua persoalan perkawinan, perceraian, pengasuhan anak,warisan dan  pembentukan ketahanan keluarga, memang menjadi urusan negara dalam mengadakan regulasi, pelayanan dan  penegakkan hukum yang berlaku untuk memenuhi hak-hak warga negaranya. 


Sebenarnya Indonesia sudah memiliki UU Perkawinan No. 1/1974,

Pasal 2 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.


Bahkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2015 tentang judicial review pasal 2 UU No.1/1974, adalah bukti negara teguh memegang prinsip perkawinan di Indonesia terlarang  untuk beda agama.


Baik menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)  yang merupakan Instruksi  Presiden Nomor 1 Tahun 1991 bahwa Perkawinan harus dilakukan dengan satu jalur Agama. 

Perkawinan Beda Agama tidak  boleh ada di Negara Indonesia. Jika tetap ada yang melaksanakan berarti di samping tidak sah perkawinannya  juga  telah melanggar perundang undangan dan peraturan yg berlaku. Diakui memang tidak adanya sanksi dan funishmen yang terdapat di UU Perkawinan menjadi titik lemah dari UU itu. Kini  bagaimana caranya negara  memikirkan  terhadap pelanggaran UU tersebut?Hal ini yang harus segera direspon oleh negara sebelum lebih marak  lagi kasus perkawinan beda agama terus bertambah dan telah memunculkan kontroversi serta membuat kebingungan di masyarakat.

Perlu segera Negara meminta pandangan para Pakar Hukum dan Juga lembaga lembaga yang berkompenten dalam urusan ini.


Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan Fatwa tentang perkawinan beda agama Pada Munas II Tahun 1980, NU juga punya fatwa di  Muktamar ke 28 di Yogyakarta. Demikian pula Muhammadiyah.


Persoalannya kenapa perkawinan beda agama masih saja diakomodir bahkan terkesan demonstratif sekarang ini, dan seakan oleh Pemerintah lewat Kantor Catatan Sipil mentolerir, sehingga angka perkawinan beda agama  terus bertambah. Sudah pasti berdasarkan UU Perkawinan, mereka yang melakukan perkawinan beda agama tidak dianggap perkawinan dan statusnya oleh ajaran agama adalah haram.Hal ini tidak saja berlaku dalam agama Islam, tapi Katholik,Kristen,hindu dan Budha juga menolak perkawinan beda agama. Padahal Negara Kesatuan  Republik Indonesia ber-Pancasila. Pada sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya negara Indonesia berkewajiban untuk memastikan warga negaranya  berkehidupan berdasarkan agama. Bila persoalan kehidupan yang utama dalam membentuk keluarga sudah di luar dari aturan agama, ini artinya negara gagal menjalankan sila pertama Pancasila. Dengan demikian tantangan terbesar bagi negara adalah menghadapi warga negaranya  yang tidak mau tunduk dengan hukum positip perkawinan, mestikah dibiarkan? Bahkan difasilitasi dengan aturan-aturan pengecualian seperti yang terjadi lewat keputusan pengadilan lalu dicatat di dukcapil.Tidakkah negara bertindak tegas atas pelanggaran hukum perkawinan dan memberikan sanksi-sanksi hukum sebagai perbuatan perdata atau pidana?  Terlebih lagi pada kasus terbaru yaitu perkawinan beda agama antara seorang penyelenggara negara di kantor Kepresidenan  yang semestinya menjadi teladan untuk taat perundang-undangan dan hukum yang berlaku.


 *Ahlul Kitab Menjadi Sebab* 


Kata ahlul kitab memang menjadi pemantik debat berkepanjangan di antara fuqoha/ahli hukum Islam dan keluarga di Indonesia. Bila kita ambil  qaul mu'tamad Imam Syafii yang menjadi mazhab terbesar di Indonesia, dikatakan setelah turunnya Al Qur'an mereka yang beragama Yahudi dan Nashrani tidak lagi dikatakan 'Ahlul Kitab" . Kata min qoblikum (dari masa sebelum kamu) menjadi penguat (qoyid) dari kata ahlul kitab yang dimaksud sebenarnya adalah mereka yang mengesakan Tuhan dan tidak bercampur  dengan yang lainnya, seperti doktrin trinitas atau trimurti. Karenanya menikahi wanita musyrik tidak halal untuk  dinikahi sebelum beriman demikian pula memakan sembelihannya. Khusus untuk generasi muda sekarang lebih praktis mengikuti pemahaman dari Imam syafii ketimbang mengikuti perdebatan dari ahli fiqih yang banyak perbedaannya. Natijah atau kesimpulan cukuplah berpegang pada QS. Al Baqoroh. 221:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnyawanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik”.


 *12 Langkah Menuju  Pernikahan.* 


1)Ta'aruf,saling mengenal;2)Tafahum, saling memahami;3)Taqorub, saling mendekat;

4)Ta'awun,saling menolong

5)Tahapud,  saling menjaga

6)Tawasow, saling menasehati dan mengingatkan;

7)Tasamuh ,saling pengertian

8)Tahabbu,saling mencintai;

9)Takhotub kitbah,  melamar  atau  meminang;

10)Tanakuh , menikah;

11)Tana'um , barulah saling menikmati hidup bersama;

12)Takafful,saling bekerjasama dalam meniti kehidupan berkeluarga,mengendalikan bahtera di tengah gelombang dan ujian.


Bila pernikahan mengikuti tahapan-tahapan, bukan saja pernikahan beda agama bisa dihindari tapi juga memungkin tujuan pernikahan untuk membentuk keluarga sakinah mawadah wa rohmah dapat terwujud.


 *Penutup* 


Jadi Negara menunggu apalagi? Perkara perkawinan beda agama harus segera disikapi  dalam rangka sebagaimana kaidah dari Imam Syafii "Tasarruf al Imam 'ala al ra'iyyah manutun  bil maslahah" tindakan pemimpin (pemerintah ) untuk kepentingan rakyat dan ummat adalah untuk  mewujudkan kemaslahatan, 

Dan juga dalam rangka mencegah  kemafsadatan (kehancuran ) yang lebih besar harus diutamakan dengan  mengambil kemaslahatan sebagaimana kaidah " Dar'ul mafasidi muqoddamun ala jalbil masolih"


Penting juga Negara ( melalui Kementerian Agama) untuk selalu mengingatkan warganya agar segala tindakan berdasar pada justifikasi agama, tidak berorientasi fiqih semata. Disini saya tidak bermaksud mempertentangkan agama dengan fiqih. Namun, ternyata agama lebih membawa pesan universal dan menyeluruh ( al islam dienun kamilun. wasamilun) di bawah prinsip  rahmatan lil alamin. Adapun fiqih yang dirumuskan oleh para fuqoha sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu,bisa jadi dulu mendatangkan kemaslahatan , namun kalau diterapkan sekarang akan menimbulkan kemudaratan. Dahulu Pernikahan tanpa dicatat  tidak terlalu bermasalah, namun jaman sekarang itu sangat merugikan banyak pihak.


(28/3-22).

Comments