Tulisan Terbaru Mantan Ketum PB HMI Sekaligus Penasihat APN Soal Kartu Pra Kerja

*Kartu Prakerja : Masalah dan Solusi*

Oleh Arip Musthopa


Pelaksanaan program Kartu Prakerja ditunda oleh Pemerintah. Begitupun dengan pembayaran untuk platform digital dan lembaga pelatihan. Pemerintah selanjutnya meminta KPK dan Kejaksaan meninjau ulang tata kelola Kartu Prakerja secara hukum (Kompas, 17 Juni 2020).
Perkembangan ini cukup baik karena menandakan Pemerintah mendengar sikap kritis publik yang deras terhadap Kartu Prakerja. Melalui tulisan ini, kami ingin memberikan masukan tentang dimensi persoalan dan solusi yang bisa ditempuh oleh Pemerintah.

Dimensi permasalahan Kartu Prakerja dapat dilihat dari tiga pendekatan. Pertama, momentum pelaksanaan. Kedua, mekanisme dan teknis pelaksanaan. Ketiga, hukum.

Menurut hemat penulis, momentum pelaksanaan Kartu Prakerja saat ini tidak tepat. Kartu Prakerja adalah program untuk meningkatkan kompetensi (upskilling) para pencari kerja. Hal ini dibutuhkan untuk menjembatani gap antara tersedianya banyak lowongan kerja (baru) sebagai konsekuensi adanya pertumbuhan ekonomi dengan kondisi tenaga kerja yang unskilled.

Tahun ini adalah tahun krisis, pertumbuhan ekonomi turun drastis, bahkan bisa menyentuh nilai negatif. Jangankan tersedia banyak lowongan kerja, malah terjadi pengurangan lowongan kerja, seperti yang terlihat dari banyak kasus PHK. Output Kartu Prakerja bisa mubazir karena tidak bisa diserap oleh dunia kerja.

Pelaksanaan yang dipaksakan pada masa krisis ini menyebabkan Kartu Prakerja dibebani misi pemberian bantuan sosial. Maka terjadilah kontradiksi konsep antara pelatihan upskilling yang mantranya adalah kualitas dan link and match,  dengan bantuan sosial yang mantranya kedaruratan (yang umumnya meminggirkan kualitas).

​Perbedaan konseptual ibarat minyak dan air yang tidak mungkin dapat menyatu tersebut juga berbengaruh terhadap orientasi peserta mengikuti Kartu Prakerja. Banyak peserta yang orientasinya bukan untuk meningkatkan kompetensi, melainkan untuk mendapatkan insentif pasca pelatihan.

Permasalahan mekanisme dan teknik pelaksanaan Kartu Prakerja, diantaranya sebagai berikut: pertama, sejak awal tidak ada konsep atau ketentuan jenis skills yang boleh/tidak boleh masuk dalam pelatihan daring, dan tidak ada standardisasi kualitas video pelatihan atau kurasi content provider.
Akibatnya banyak jenis video pelatihan yang kurang layak dimasukkan dan kualitasnya lebih buruk dari video gratisan.

Kedua, sertifikat pelatihan tidak mengacu kepada proses sertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sehingga output program diragukan akan diterima oleh dunia kerja.

Ketiga, penunjukkan platform digital sebagai mitra resmi sesungguhnya hanyalah memberikan ruang adanya “pemain tengah” diantara Pemerintah dan lembaga pelatihan. Kehadirannya bisa diabaikan karena hanya membuat teknis pelaksanaan lebih bertele-tele. Fungsi platform digital sebagai tempat pelatihan daring juga tidak diperlukan karena www.prakerja.go.id, situs resmi program, bisa difungsikan untuk hal itu.

Bagi peserta juga memberikan kerepotan karena harus mendaftar di www.prakerja.go.id dan ikut pelatihan di platform digital. Padahal dua hal tersebut dapat dilakukan disatu platform saja.

Keempat, mekanisme jual-beli antara platform digital dengan 5,6 juta peserta program yang dibekali dana APBN masing-masing Rp. 1 juta jelas-jelas merupakan pemborosan anggaran. Mekanisme ini bisa menghabiskan Rp. 5,6 triliun. Padahal kalau Pemerintah berhubungan langsung dengan penyedia video pelatihan yakni lembaga pelatihan/content provider, maka anggaran yang diperlukan hanya sekitar Rp.300 milyar (asumsinya diperlukan 1500 video pelatihan dan harga per video Rp. 200 juta).

Kelima, distribusi biaya pelatihan kepada peserta dan kemudian peserta membelanjakannya (jual-beli) di platform digital merupakan bentuk komersialisasi program Pemerintah yang dibiayai APBN. Pemerintah seperti menciptakan suatu pasar dengan jutaan konsumen, yakni peserta Kartu Prakerja, yang harus membelanjakan uangnya di delapan platform digital yang dipilih tanpa melalui lelang. Peserta diperlakukan dalam pola hubungan business to customer, bukan government to people.
Hal ini tidak dapat diterima. Apalagi pola seperti ini mirip praktek transfer pricing yang merugikan negara dari sisi perpajakan.

Keenam, peserta yang telah terdaftar tidak seluruhnya pencari kerja, ada juga peserta yang masih bekerja. Hal ini kurang tepat karena menutup/mengurangi kuota pencari kerja mendapatkan manfaat dari Kartu Prakerja.

Sementara itu permasalahan dari sisi hukum adalah sebagai berikut : pertama, ada indikasi konflik kepentingan (conflict of interest) dalam penyusunan Perpres 36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja. Perpres 36/2020 diundangkan tanggal 28 Februari 2020. Pada saat dirumuskan dan undangkan, Adamas Belva Syah Devara, CEO Ruanggguru, induk perusahaan Skills Academy, salah satu platform digital mitra resmi Kartu Prakerja, adalah Staf Khusus Presiden. Skills Academy saat ini menguasai porsi terbesar, yakni 47% dari 702.974 transaksi jual-beli video (Kompas, 17 Juni 2020).

Indikasi konflik kepentingan lainnya adalah keberadaan Menparekraf, anggota Sidang Kabinet RI, Wishnutama Kusubandio sebagai Komisaris Tokopedia, yang juga platform digital mitra resmi Kartu Prakerja. Namanya baru hilang dari posisi tersebut berdasarkan akta terbaru Tokopedia Nomor 47 tanggal 19 Mei 2020 (Kontan, 21 Mei 2020).

Kedua, ada indikasi Perpres No 36/2020 tidak disusun berdasarkan prinsip negara berdasarkan hukum, melainkan negara berdasarkan kekuasaan. Hal ini tersirat dari apa yang tercantum dalam konsideran ‘mengingat’ Perpres 36/2020. Konsideran tersebut hanya mencantumkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden RI sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Perpres lain biasanya mencantumkan juga undang-undang atau peraturan pemerintah terkait yang secara hierarki berada di atas Perpres. Sejauh penulis ketahui, di era reformasi, bahkan di era Presiden Jokowi, hanya Perpres No 36/2020 yang begitu.

Ketiga, ada potensi Perpres 36/2020 bertentangan dengan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini terlihat dari definisi ‘kompetensi kerja’ dan ‘pelatihan’ dalam Perpres 36/2020 berbeda dengan definisi di UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Selain itu, secara kelembagaan, pelaksana program Kartu Prakerja dipimpin oleh Komite yang ketuanya adalah Menko Perekonomian, padahal UU 13/2003 memberi kewenangan pelaksanaan urusan ketenagakerjaan kepada Menteri yang mengurusi bidang ketenagakerjaan.

Keempat, Perpres 36/2020 berpotensi bertentangan dengan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Perpres 36/2020 mendefiniskan ‘platform digital’ sebagai mitra resmi Pemerintah dalam pelatihan daring (Pasal 1 ayat 10). Pasal ini diperkuat oleh Pasal 6 ayat (2) poin a yang mensyaratkan lembaga pelatihan harus bekerjasama dengan platform digital. Ketentuan ini terlalu teknis, karena menutup kemungkinan program dijalankan dengan opsi lain yang lebih efektif-efisien. Apalagi penunjukkan platform digital-nya tidak melalui lelang.

Mekanisme tersebut berbeda dengan mekanisme penunjukkan mitra Pemerintah dalam pelaksanaan program Pemerintah sebagaimana diatur dalam Perpres 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Mekanisme yang tidak mengikuti Perpres 16/2018 tersebut, berpotensi bertentangan dengan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.

*Solusi*
​Berdasarkan deskripsi permasalahan di atas, kami mengusulkan solusi agar program Kartu Prakerja dihentikan total untuk tahun ini. Korban PHK, karyawan yang dirumahkan, serta pencari kerja yang semakin terpuruk karena pandemi Covid-19 langsung diberikan bantuan sosial saja. Siapkan payung hukum tersendiri untuk pemberian bansos ini.

​Program Kartu Prakerja dapat dilanjutkan tahun 2021 apabila pandemi telah usai dan dilakukan perubahan mekanisme dan teknis pelaksanaan. Usulan penulis untuk perubahan tersebut adalah sebagai berikut : pertama, program Kartu Prakerja harus mengacu kepada UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan Perpres 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Kedua, menentukan jenis skills mana yang pelatihannya cukup melalui pelatihan daring, harus melalui pelatihan luring, dan kombinasi keduanya (daring dan luring).

​Ketiga, khusus pelatihan daring, Pemerintah langsung membeli video yang dihasilkan oleh lembaga pelatihan/content provider. Video yang dibeli adalah yang terbaik untuk masing-masing skills. Video tersebut disimpan di www.prakerja.go.id. Peserta dapat menonton atau mengunduh video secara gratis. Platform digital (swasta) tidak diperlukan lagi. Pemerintah tidak perlu mengontrak lembaga pelatihan, tetapi fokus membeli video terbaik yang ditawarkan secara terbuka oleh beragam lembaga pelatihan/content provider. Video terbaik tersebut jumlahnya bisa lebih dari satu untuk setiap materi pelatihan, dan dapat diperbarui dalam tempo tertentu (misal tiap tiga tahun).

​Keempat, Pemerintah membuka kesempatan pihak swasta yang secara mandiri mau membuat situs semacam www.prakerja.go.id, baik yang gratis maupun berbayar. Pemerintah tidak membiayai pembuatan situs maupun peserta untuk membeli video di situs tersebut. Namun Pemerintah menerima dan membiayai proses sertifikasi profesi peserta yang ikut pelatihan daring di situs milik swasta juga. Proses sertifikasi dilakukan oleh BNSP untuk seluruhnya. Seluruh peserta yang lolos sertifikasi mendapatkan insentif maksimal selama 6 bulan.

Penulis yakin realisasi poin ketiga dan keempat akan menumbuhkan industri kreatif content provider dan situs pelatihan daring. Sehingga kerja Pemerintah meningkatkan skills tenaga kerja akan lebih mudah. Wallahu a’lam.

Comments